OLEH: Chazali H. Situmorang*)
REKANINDONESIA.ORG.. Gara-gara obat parasit/cacing Ivermectin digencarkan sebagai alternative untuk pengobatan penderita serangan Covid-19 ringan dan sedang diberbagai media social, televisi, media cetak, dan bahkan majalah nasional terkenal TEMPO menguraikannya pada terbitan 28 Juni 2021, pada halaman 28 rubrik ANGKA, berimplikasi pada saya sebagai apoteker yang berpraktek di apotik lingkungan perumahan yang padat.
Pasien bertanya tentang tablet Ivermectin, untuk pengobatan Covid-19, sambil membeli berbagai vitamin, dan peningkatan daya taham tubuh (imunitas) lainnya, karena gelombang kedua Covid-19, yang sudah masuk varian Delta dari India dengan penularan lebih cepat dari varian asal Wuhan China.
Soal Ivermectin, semakin “heboh” setelah Menteri BUMN Erick Thohir, mempublikasikan pemakaian Ivermectin sebagai profilaksis untuk mengerem lajunya virus Covid-19 yang masuk kedalam tubuh. Dilanjutkan meninjau langsung pabrik Biofarma, yang akan memperoduksi 4 juta Invermectin perbulan.
Banyak yang bertanya kepada saya, kenapa bukan Menteri Kesehatan atau Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat-Kesehatan Kemenkes, atau dokter/apoteker atas nama organisasi profesi, memberikan penjelasan kepada masyarakat secara tuntas, mulai dari apa itu Ivermectin, efek terapi utama, efek ikutan, serta proses uji klinis yang dilakukan dan sudah sampai ditahap mana. Masyarakat akan lebih poercaya jika disampaikan oleh ahlinya, daripada disampaikan oleh Menteri BUMN, apapun jabatan sampingannya. Dirut PT. Biofarma menjelaskan dengan jujur bahwa produksi Ivermectin, ijinnya sebagai obat anti parasit, dan hal tersebut sudah dipertegas oleh BPOM.
Menteri BUMN Erick Tohir, sudah off side, terkait penggunaan Ivermectin, dan memnimbulkan suasana batin yang tidak enak di hati profesi dokter dan apoteker, karena mereka inilah yang di front liner berhadapan dengan masyarakat ( baca pasien).
Masyarakat sudah pintar, mereka sering membenturkan penjelasan kita di tempat praktek dengan informasi dari Menteri BUMN. Maaf terkadang harus “membantah” dengan bahasa halus. Apalagi Ivermectin itu obat keras harus dengan resep dokter. Apotik tidak akan berani memberikannya tanpa resep dokter. Juga biasanya resep yang diberikan jarang tunggal Ivermectin doank, tetapi dikombinasi dengan obat lain, seperti dengan antibiotik tertentu.
Boleh semangat tapi jangan kesusu, yang ujungnya bukan menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan masalah baru. Jangan karena panic covid-19, pejabat negara begitu saja “melemparkan” Ivermectin kepada masyarakat, dengan tujuan untuk pencegahan Covid-19, sedangkan pihak Litbang Kemenkes baru akan melakukan uji klinis didelapan rumah sakit. Harus ada kesabaran.
Ivermectin adalah obat untuk mengobati infeksi akibat cacing gelang. Obat ini termasuk kelas antihelminitik yang bekerja membunuh larva cacing dan cacing gelang dewasa agar berhenti berkembang biak. Ivermectin satu kelompok dengan Combantrin.
Bayangkan obat untuk anti parasit baca cacing, digunakan untuk mencegah Covid-19. Jutaan orang minum Ivermectin yang tidak cacingan tapi takut Covid-19, bisa dibayangkan apa efek samping yang akan ditimbulkannya?. Pernah dengar istilah keracunan obat?, ya itu bisa saja terjadi. Saya masih ingat pelajaran pertama sewaktu masih sekolah farmasi puluhan tahun yang lalu, bahwa obat itu beda tipis dengan racun. Bedanya dimana?, di dosis. Maka ada istilah dosis therapy ( pengobatan) dan dosis lethalis (mematikan).
Memang ada penelitian di Australia, sebuah penelitian terbaru yang dilaksanakan oleh tim dari Monash University dan University of Melbourne, Australia, menyatakan bahwa obat ini berpotensi membunuh coronavirus. Memiliki efek antiviral yang berhasil mengurangi angka perkembangan virus sebanyak 99,8% dalam waktu 48 jam.
Penelitian itu juga menjelaskan Ivermectin bekerja dengan cara menghambat protein yang membawa virus corona ke dalam inti tubuh manusia. Jika virus tidak dapat masuk ke dalam inti sel, virus tidak akan bereplikasi (memperbanyak diri).
Hal ini dapat mencegah penambahan jumlah virus dalam tubuh, sehingga infeksi pun tidak bertambah parah. Keampuhan ini ditandai dengan menurunnya jumlah virus (viral load) secara signifikan dalam sel yang diuji coba di laboratorium. ( in vitro, belum in vivo).
Menurut Dokter relawan Covid19, dr Muhammad Fajri Addai sejauh ini belum ada bukti klinis yang menyatakan ivermectin efektif sebagai obat Covid-19. Bahkan, “BPOM menyetujui ivermectin bukan untuk Covid-19 tapi untuk obat cacing,” kata dr Fajri kepada Liputan6.com, Rabu (30/6/2021).
“Dan lembaga dunia lainnya belum ada yang meng-acc ivermectin untuk Obat Covid-19, seperti FDA Amerika kemudian WHO. Mereka juga tidak menyetujui. WHO memang bilang boleh tapi untuk uji klinis, bukan pengobatan secara luas,” tambah dr Fajri.
Dr Fajri pun mengatakan ada jurnal medis mengenai hasil penelitian terbaru ivermectin untuk pasien Covid-19. Ivermectin tidak berhasil menurunkan angka kematian, menurunkan angka rawat inap, dan mengurangi jumlan kandungan virus dalam tubuh seseorang yang terpapar Covid-19.
Lantas apa kata Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof Dr Zullies Ikawati, Apt. Menurut Prof Zullies, belum ada uji klinis yang menyatakan bahwa ivermectin mampun menyembuhkan pasien dengan Covid-19.
“Karena beberapa uji klinik yang pernah dilakukan di beberapa negara hasilnya sangat bervariasi, baik dari dosis, jumlah subyek, kriteria keparahan Covid-10 nya. Sehingga belum bisa diambil kesimpulan,” ungkap Prof Zullies kepada Liputan6.com, Rabu (30/6/2021).
Prof Zullies mengatakan, dalam proses terapi penyembuhan suatu penyakit, termasuk Covid-19 memang ada unsur sugesti. Namun hal itu tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa obat ivermectin efektif menyembuhkan Covid-19.
Prof Zullies pun mengimbau, kepada masyarakat agar berhati-hati dalam mengonsumsi obat untuk menyembuhkan Covid-19.
“Apalagi pada masayarakat yang masih illiterate, ibaratnya hal yang tidak masuk akal pun akan dipercaya bisa menyembuhkan. Apalagi ini ada bentuknya yaitu obat, dan ada yang mengendorse,” tutup Prof Zullies.
Informasi lain dikutip dari KOMPAS.com. Pada awal 2020, sebuah makalah berjudul “The FDA-approved drug ivermectin inhibits the replication of SARS-CoV-2 in vitro” dipublikasikan. Makalah tersebut menunjukkan bahwa ivermectin dapat menekan replikasi virus SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19, dalam penelitian laboratorium.
Penelitian ini merupakan salah satu dari banyak penelitian selama 50 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa obat antiparisit juga dapat memiliki kegunaan antivirus.
Temuan awal itu digunakan sebagai dasar dari banyak rekomendasi untuk penggunaan ivermectin untuk mengobati Covid-19, terutama di Amerika Latin, yang kemudian ditarik kembali. Sejak itu, ada banyak penelitian tentang ivermectin sebagai pengobatan potensial untuk Covid-19.
Pada akhir tahun 2020, sebuah kelompok penelitian di India mampu merangkum hasil dari empat penelitian kecil tentang ivermectin berjudul “Therapeutic potential of ivermectin as add-on treatment in COVID 19: A systematic review and meta-analysis”. Dalam studi tersebut, ivermectin digunakan sebagai pengobatan tambahan pada pasien Covid-19. Ulasan ini menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik dalam kelangsungan hidup di antara pasien yang menerima ivermectin di samping pengobatan lain.
Tetapi penulis menyatakan dengan jelas bahwa kualitas buktinya rendah dan bahwa temuannya harus diperlakukan dengan hati-hati. Seperti yang sering terjadi pada tinjauan beberapa penelitian kecil, makalah tersebut menyarankan bahwa percobaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ivermectin memang efektif secara klinis.
Sebuah kontroversi kemudian meledak setelah muncul artikel dari Front Line COVID-19 Critical Care Alliance (FLCCC). Tulisan berjudul “Review of the Emerging Evidence Demonstrating the Efficacy of Ivermectin in the Prophylaxis and Treatment of COVID-19” tersebut, merangkum beberapa penelitian kecil tentang efek ivermectin pada pasien Covid-19, untuk sementara diterima untuk dipublikasikan di jurnal Frontiers in Pharmacology pada Januari 2021. *Namun, kemudian ditolak dan dihapus dari situs web jurnal pada bulan Maret lalu. Editor jurnal menyatakan bahwa standar bukti dalam makalah tidak cukup dan bahwa penulis tidak tepat mempromosikan pengobatan berbasis ivermectin mereka sendiri.
Dirangkum oleh National Institutes of Health, beberapa studi menunjukkan keterbatasan pada beberapa penelitian yang dilakukan, mulai dari ukuran sampel yang kecil dan masalah dalam desain penelitian. Oleh karena itu, bersama European Medicine Agency, keduanya menyatakan bahwa saat ini tidak ada cukup bukti untuk mendukung penggunaan ivermectin dalam pengobatan Covid-19.
Indonesia baru akan melakukan persiapan uji klinis (in vivo) di 8 Rumah Sakit yang dilaksanakan oleh Balitbangkes dan BPOM. .
Respon masyarakat
Sampai saat ini, di apotik tempat saya berpraktek, banyak pasien yang bertanya tentang Ivermectin sebagai obat Covid-19. Mereka semua yang datang bukan ada keluhan cacingan. Tapi saya tidak berkompeten menjelaskan penggunaannya sebagai obat Covid-19. Biarlah Menteri BUMN yang menjelaskannya.
Saya harus menjelaskan, dan penjelasan saya secara professional mengatakan, Ivermectin saat ini efek terapinya untuk mengatasi beberapa jenis kecacingan antara lain:
1. Strongiloidiasis (adalah infeksi yang terjadi pada tubuh akibat cacing gelang jenis Strongyloides stercoralis. Cacing ini dapat hidup sebagai parasit pada tubuh manusia dan mengambil nutrisi yang diperoleh manusia melalui makanan;
2. Onchocerchiasis (dikenal sebagai kebutaan sungai atau Penyakit Robles, adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing parasit Onchocerca volvulus. Gejalanya antara lain gatal-gatal parah, benjolan di bawah kulit, dan kebutaan.)
3. Cutaneous Larva Migrans (adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh larva cacing. Infeksi ini ditandai dengan tonjolan kemerahan di kulit yang berkelok-kelok seperti ular).
4. Scabies atau kudis (penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi tungau Sarcoptes scabiei. Tungau tersebut bereproduksi pada permukaan kulit, lalu masuk ke dalam kulit untuk bertelur, sehingga menyebabkan rasa gatal)
5. Ascariasis ( infeksi usus kecil yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides (nematoda atau cacing gelang terbesar).
6. Filariasis (kaki gajah adalah pembengkakan tungkai akibat infeksi cacing jenis filaria. Cacing ini menyerang pembuluh getah bening dan ditularkan melalui gigitan nyamuk).
Secara sederhana saya katakan Ivermectin itu untuk mereka yang kudisan, ada cacing di usus yang menyebabkan infeksi, dan kaki gajah. Dan harus dengn resep dokter dan dibawah pengawasan dokter untuk kelanjutan penggunaannya. Misalnya dilakukan pemeriksaan laboratorium apakah fecesnya masih ada cacingnya.
Dosis terapi yang diberikan dokter tidaklah sama untuk berbagai jenis cacingan tersebut. Juga diikuti dengan kombinasi obat lain, agar efek terapinya menjadi optimal, atau mengurangi efek samping lain yang timbul. Dan tetap dibawah pengawasan dokter dalam pemakaiannya.
dr. Budhy Antariksa Ketua Tim Peneliti Uji Klinis Ivermectin Balitbangkes, menyatakan sedang dalam persiapan melakukan penelitian uji klinis. Mudah-mudahan hasil uji klinis yang dilakukan Litbangkes yang katanya baru bisa dilihat hasilnya 4 bulan mendatang, benar-benar dapat menghambat protein yang membawa virus corona ke dalam inti tubuh manusia. Karena virus tidak dapat masuk ke dalam inti sel, virus tidak akan dapat mereplikasi (memperbanyak diri).
Jika uji klinis itu berhasil, merupakan sumbangan terbesar dalam upaya mempercepat mengakhiri pandemic Covid-19 yang di Indonesia sudah masuk gelombang kedua dengan varian Delta. Jika tidak berhasil, tidak perlu kecewa, tetapi kurangi saja model komunikasi yang PHP.
Cibubur, 1 Juli 2021
*) Apoteker, praktisi pelayanan farmasi komunitas.
Be the first to comment on "Ivermectin Obat Cacing, Rasa Covid 19"