oleh : Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga
Baca Sebelumnya : Patriotisme Tjipto Mangoenkosoemo Bagian III
Kemodernan dan Tradisi
Dalam ulasan diawal terkait dengan polemik Tjipto dengan Soetatmo berhubungan dengan nasionalisme Hindia atau Jawa, Tjipto begitu kritis menghantam argumen Soetatmo dan pijakan otoritas tradisi Jawa sebagai basis pendasarannya. Pembacaan atas uraian Tjipto secara sekilas akan membawa kita sampai pada persepsi Tjipto sebagai anak kandung zaman kemajoean yang mempercayai perjalanan sejarah secara linear dan berusaha membuang tradisi (terutama Jawa) sebagai sesuatu yang harus disingkirkan saat menyongsong zaman pencerahan.
Sebelum meyakini persepsi diatas, ada baiknya kita menengok sebentar pandangan pemikir postcolonial India Partha Catherjee (1993) dalam The Nation and Its Fragments ketika memahami formasi nasionalisme anti-kolonial Asia dan Afrika dan kita bandingkan dengan pemikiran nasionalis Indonesia khususnya Tjipto Mangoenkosoemo tentang relasi antara tradisi India dan imajinasi Barat. Menurut Catherjee bahwa nasionalisme antikolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri sebelum melakukan perlawanan politik dengan kekuasaan imperial.
Hal itu mereka lakukan dengan membagi dua ruang antara wilayah material dan spiritual. Ruang material seperti ekonomi, tata-kenegaraan, sains dan tekhnlogi, dimana Barat telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan Timur. Pada ruang wilayah ini keunggulan Barat ini telah difahami dan dipelajari oleh para intelegensia Timur. Sementara pada wilayah spiritual, ruang dalam ini tetaplah dijaga untuk menunjukkan identitas budaya kaum bumiputera. Dalam formula inilah maka semangat nasionalisme di masyarakat jajahan tampil kepermukaan.
Apa yang diutarakan oleh Partha Catherjee ini dalam taraf tertentu dapat menjelaskan gagasan-gagasan kemodernan dari Tjipto Mangoenkosoemo. Dalam gugatannya terhadap tradisi feodalisme Jawa dan eksposnya terhadap nasionalisme Hindia dan ide-ide kemajoean Tjipto tidaklah menghantam tanpa ampun pandangan tradisi kejawaan dan segenap kode-kode kultural yang ada didalamnya.
Yang dilakukan oleh Tjipto adalah melakukan reinterpretasi terhadap ruang dalam spiritual dari tradisi dengan semangat baru perlawanan dan kemodernan. Ketika Tjipto mengkritik sistem kasta, tatanan feodal dan hierarkhi sosial yang tertanam kuat dalam budaya Jawa, ia menulis pula buklet De Wayang yang menggunakan cerita tradisi Jawa Hindu yaitu Wayang dengan dialog antara Abimanyu dan kakeknya untuk menemui ayahnya Arjuna.
Dalam fragmen tersebut, ditampilkan bahwa didalam wayang seorang cucu seperti Abimanyu dapat bersikeras untuk memperjuangkan keinginannya meskipun ditolak oleh kakeknya. Wayang sebagai bagian dari tradisi Jawa digunakan oleh Tjipto sebagai medium untuk menyebarkan tradisi perlawanan dimasyarakat Jawa sebagai obat dari penyakit konformis dan selalu berkata ja yang telah menjadi penyakit akut masyarakat Jawa di era feodalisme waktu itu.
Pada bagian lain tulisannya Tjipto menyebutkan bahwa kerusakan budaya Jawa bukanlah secara semata-mata terletak pada persoalan didalam budaya Jawa itu sendiri. Ia melihat bahwa Jawa telah kehilangan kemerdekaan dan karakter teguhnya karena kekuaasaan otoriter dan eksploitasi kapitalis penguasa Belanda. Tatanan menindas dan opresif inilah yang menjadi sebab utama kehancuran kebudayaan Jawa. Sementara perjuangan untuk melawan bentuk-bentuk penindasan ini ia uraikan dengan memberi keteladanan seperti Pangeran Diponegoro maupun sosok wayang Abimanyu.
Dalam kemunculan virtue dari sikap ksatria inilah, maka kemunculan ksatria-ksatria baru yang mampu menjadi warga Hindia di masa depan (Takeshi Shiraishi 1997; 170). Demikianlah maka Tjipto menjadi salah satu pelopor dari kalangan intelegensia awal Indonesia yang menempatkan antara tradisi dan kemodernan secara dinamis.
Penggambaran-penggambaran ksatria wayang selanjutnya menjadi bagian dari proses pendidikan politik maupun propaganda-terutama sering dilakukan oleh Soekarno dalam orasi-orasinya yang memukau rakyat kecil–yang kerapkali dilakukan untuk menggugah kesadaran politik rakyat dan mengikuti zaman baru yaitu zaman kemajoean sebagai pintu pembuka menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Penutup
Dari pemaparan singkat atas gagasan-gagasan dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita dapat menjelaskan sedikit paradoks dan kompleksitas dari pandangan-pandangan Tjipto Mangoenkosoemo. Sebagai seorang penggugah awal pergerakan nasional Tjipto adalah seorang aktivis radikal yang memiliki standar virtu yang tinggi pada masanya.
Ia menekankan pada pentingnya membangkitkan semangat patriotisme dikalangan intelegensia awal Bumiputera untuk mengabdi kepada rakyat, menolak setiap bentuk-bentuk kesewenang-wenangan dan menjadi pendorong awal bagi proses demokratisasi politik di Hindia Belanda. Namun demikian kritik dan pembangkangannya tersebut ia artikulasikan dalam batasan-batasan konstruksi rezime kolonial.
Langkah tersebut tidak membatasi perjuangannya hanya pada konteks relasi demokratis dalam formasi rezime kolonial Hindia Belanda, karena di masa depan ia mempercayai bahwa dalam proses politik yang keras, maka kaum Bumiputera secara evolusioner dapat merebut kemerdekaannya. Komitmen itu dapat dibuktikan dari keterlibatannya dalam organisasi Indische Partij yang memiliki tujuan membangun nasionalisme yang inklusif serta kemerdekaan Hindia.
Paradoks selanjutnya dapat kita telusuri dari komitmen Tjipto terhadap nilai-nilai kemoderan dan kemajoean. Meski kritik Tjipto terhadap kultur feodalisme Jawa begitu keras dan menghantam hierarkhi kekuasaan, namun ia melakukan reinterpetasi terhadap budaya Jawa.
Figur-figur ksatria dalam pewayangan maupun figur histories seperti Pangeran Diponegoro ia artikulasikan untuk menggugah komitmen dari para aktivis pergerakan dan intelegensia muda Hindia untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik kebebasan politik yang lebih luas bagi rakyat Hindia dan kemajuan perjuangan politik rakyat untuk merebut hak-haknya.
Setelah kita menguraikan secara padat dinamika pemikiran nasionalisme patriotik dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita dapat menarik garis pelajaran penting dari buah-buah gagasannya di masa lalu untuk memudakan dan menyehatkan kembali ruang politik kita disaat ini.
Pertama, dalam konteks politik kita sekarang, aktivisme politik Tjipto Mangoenkoesoemo memberi kita pelajaran penting bahwa politik pertama-tama adalah sebuah komitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan bersama dan terbangunnya sebuah komunitas politik yang menolak kesewenang-wenangan.
Keteladanan dan standar moral yang tinggi dalam wilayah politik (virtue) untuk membela rakyat yang dimiskinkan yang selalu kerapkali diserukan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo masih menjadi seruan yang penting bagi arena politik kita saat ini.
Kedua, Tjipto sebagai penyeru nasionalisme inklusif awal di tanah Hindia mengingatkan kita bahwa basis fondasional dari kebangsaan kita bukanlah pada elemen-elemen esensial seperti homogenitas suku, bahasa, agama dan kebudayaan namun nasionalisme kita dibangun berdasarkan solidaritas bersama dalam konteks kesatuan dalam keragaman. Dalam ikatan jalinan solidaritas bersama dalam kebhinekaan inilah, maka jalinan kebangsaan Indonesia hanya dapat dirawat ketika keadilan sosial dan kesetaraan sebagai warganegara tetap diperjuangkan dalam institusi politik yang demokratis.
Ketiga, Kompleksitas dan dialog Tjipto dengan modernitas dan tradisi memperlihatkan bahwa jalan kemajuan adalah gerak dinamis melihat keluar dan melihat kedalam. Bahwa ide-ide kemajuan dari luar seprogresif apapun membutuhkan proses dialog dan penyesuaian dengan konteks tradisi lokal sementara disisi lain tidak ada pula tradisi lokal yang selalu utuh dan bertahan tanpa melihat dinamika zaman. Proses reinterpretasi dan dialog dengan nilai-nilai kemajuan menjadi penting agar tradisi tetap memberikan relevansinya bagi kemanusiaan.
Sumber Rujukan :
– Budiawan (1994). Nostalgia atau Utopia. Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 3.
– Chatterjee, Partha (1993) The Nation and Its Fragments. Princeton University Press.
– Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna. Gramedia.
– Poeze A., Harry (2008) Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. KPG dan KITLV-Jakarta.
– Shiraishi, Takeshi (1997) Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti Jakarta
– Scherer, Savitri Prastiti (1985) Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Sinar Harapan.
– Viroli, Maurizio (1995) For Love of Country: an Essay on Patriotism and Nationalism. Oxford University Press.
Be the first to comment on "Patriotisme Tjipto Mangoenkosoemo Bagian Terakhir"