oleh : Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga
REKANINDONESIA.ORG. Sosok Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh pergerakan nasional awal yang terlalu penting perannya untuk ditempatkan pada pinggiran sejarah. Namun demikian dalam diskursus pergerakan nasional kalangan aktivis dan intelektual Indonesia saat ini, figur seperti Tijpto Mangoenkosoemo, Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat kerap ditempatkan sebagai pemeran pembantu yang sekilas tampil dalam teater kolosal pergerakan nasional yang dipadati oleh tokoh-tokoh Bung Besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Apabila kita membaca kembali statemen diatas yang menjadi motto dari NIP yang dibuat oleh tiga serangkai bahwa “Hindia adalah untuk mereka yang memperjuangkan tanah air mereka disana”, pada tahun 1918, maka jelaskah bahwa kita akan susah membayangkan sebuah wawasan tentang bagaimana Indonesia yang berbhineka, inklusif dan tergelar dari Sabang sampai Merauke tanpa adanya landasan konseptual yang padat sekaligus berkarakter civic nationalism ini.
Apabila kita mengulas secara pendek sumbangan agensi-agensi dalam pentas besar pergerakan nasional maka kita dapat mengutarakan pertama-tama adalah Boedi Oetomo dengan tokohnya dr. Soetomo (dimana Tjipto Mangoenkosoemo juga menjadi salah satu tokoh faksi radikal dalam organisasi ini) pada tahun 1908 berperan memperkenalkan perangkat material-eksterior yaitu kesadaran berorganisasi terutama bagi kaum bumiputera Jawa.
Kedua, Sarekat Islam dengan Tjokroaminoto pada tahun 1913 mengintroduksi nasionalisme dan hak-hak bumiputera dalam identitas keislaman.
Ketiga, PKI pada tahun 1920 menyodorkan perspektif perjuangan kelas dalam pergerakan Indonesia.
Keempat, maka Indische Partij (IP) pada tahun 1912 dengan salah satu tokohnya yaitu Tjipto Mangoenkosoemo menjadi agen yang memberikan peranan penting dalam memperluas karakter nasionalisme Indonesia melampaui kesadaran etnis, ras, agama sebagai sebuah pendasaran nasionalisme esensial menuju konstruksi budaya nasionalisme yang lebih luas berlandaskan persamaan nasib sebagai kaum terjajah dan komitmen bagi tiap-tiap orang yang menginginkan Hindia sebagai tanah airnya.
Kelima, diatas rumah nasionalisme inklusif yang dibangun oleh Tjipto Mangoenkosoemo dan IP inilah maka Soekarno dan Partai Nasional Indonesia sejak tahun 1927 membangun konstruksi ideologis yang menghormati keragaman antar kelompok yaitu Islamisme-marxisme-Nasionalisme yang mengkristal menjadi Marhaenisme sebagai blok historis perlawanan anti kolonial.
Membaca peran Tjipto sebagai figur sang penggugah kebangsaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari kondisi material yang menandai pergeseran formasi kolonialisme Indonesia dari era tanam paksa menuju era era kolonialisme etis liberal. Dimana kondisi ini menjadi periode awal dari era kapitalisme di Indonesia. Era baru ini merupakan zaman “ekspansi, efisiensi dan kesejahteraan”.
Setelah penaklukan terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro di tanah Jawa setengah abad sebelumnya dan penundukan terhadap perlawanan rakyat Aceh maka rangkaian pulau dari Sabang sampai Merauke berada dibawah rust en orde atau kontrol dari Belanda. Dalam kondisi demikian, maka Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan pengembangan birokrasi modern yang terpusat dalam perluasan ruang lingkup wilayah yang begitu besar baik dalam wilayah sosial, ekonomi maupun politik (Takeshi Shiraishi 1997).
Be the first to comment on "Patriotisme Tjipto Mangoenkosoemo Bagian I"