REKANINDONESIA.ORG. JOMBANG- Ibu melahirkan sendiri tanpa bantuan tenaga medis di Rumah Sakit Pelengkap Medical Center (RS PMC), Jombang hingga bayinya meninggal. Keluarga korban meminta dokter dan perawat yang bertugas saat persalinan meminta maaf.
Nasib memilukan itu dialami DR (27), warga Desa Gedangan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Dia datang ke RS PMC di Jalan Ir H Juanda, Kelurahan Kepanjen, Jombang, untuk melahirkan anak keduanya pada Selasa (4/8) sekitar pukul 01.30 WIB.
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit swasta tersebut, DR sudah merasakan kontraksi (Ngelarani, Bahasa Jawa) tanda akan melahirkan. Bahkan, air ketubannya sudah keluar. Karena di tengah pandemi COVID-19, pihak rumah sakit lebih dulu melakukan rapid test terhadapnya. Hasilnya ternyata reaktif.
Sehingga DR dipindahkan ke ruangan Darusallam di lantai dua RS PMC sekitar pukul 02.00-02.30 WIB. Yaitu kamar khusus untuk pasien yang dicurigai terinfeksi virus Corona. Di ruangan ini, intensitas kontraksi yang dirasakan ibu satu anak tersebut kian meningkat. Air ketubannya juga keluar semakin banyak.
“Saya sudah ngelarani di IGD dan keluar air ketuban. Suami sudah laporan, katanya (petugas medis RS PMC) sudah biasa seperti itu. Waktu saya dipindahkan (ke ruangan Darusallam) juga begitu, katanya iya gapapa. Waktu di ruang atas, ruangan Darusallam saya semakin ngelarani, semakin keluar air ketubannya,” kata DR kepada wartawan di rumahnya, Jumat (7/8/2020)
Selama di ruangan isolasi RS PMC, DR hanya didampingi ibu kandungnya, AL (63). Sementara suaminya, BK (29) pulang setelah mengantarkannya menggunakan mobil ambulans desa. Saat itu kondisi DR semakin gawat. Karena kepala bayinya sudah keluar sebagian. Ibunya pun panik dan berusaha memanggil petugas medis RS PMC menggunakan telepon di dalam ruangan Darusallam.
“Ibu saya telepon disuruh menunggu jam 9 (pukul 09.00 WIB). Sampai bayi saya kelihatan rambutnya, tetap bilangnya nanti jam 9. Waktu telepon di-loud speaker sama ibu. Sehingga saya dengar sendiri jawaban perawatnya. Alasannya masih observasi selama 6 jam, tapi orang kan beda-beda. Kalau sudah kesakitan berbeda lagi,” terang DR.
Akhirnya, perempuan yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit swasta di Jombang ini harus melahirkan sendiri bayinya. Bayi perempuan itu lahir tanpa bisa menangis sekitar pukul 04.30 WIB. Kondisi itu membuat ibu DR semakin panik. AL memanggil perawat yang berjaga di ruangan Darusallam untuk meminta bantuan.
“Akhirnya sampai keluar bayinya, itu pun tidak langsung dilihat. Setengah jam setelah bayi saya lahir (sekitar pukul 05.00 WIB), baru dilihat,” ungkap DR dengan nada kesal.
DR baru mendapatkan penanganan medis setelah bayinya lahir. Petugas medis datang memakai baju dan alat perlindungan diri (APD) lengkap. Salah seorang di antaranya berstatus bidan di RS PMC.
“Waktu petugas datang, anak saya dioksigen, ditangani. Mereka tidak langsung bilang kalau anak saya meninggal. Baru setelah dia melakukan tindakan, dia bilang. Perasaan saya sangat kecewa, sedih juga dengan saya diperlakukan seperti itu,” sambungnya.
Sang suami pun menuntut keadilan.
“Waktu saya datang, kondisinya masih segar, masih merah, kok dibilang mati di dalam (kandungan) bagaimana? Kalau mati kan kondisinya biru. Saat itu bayi saya masih segar, kalau dibilang mati di dalam saya tidak terima,” kata BK kepada wartawan di rumahnya.
Tahu buah hatinya meninggal dunia, BK pun naik pitam. Dia langsung mendatangi petugas medis di IGD RS PMC. Saat itu, dia mempertanyakan kinerja petugas medis rumah sakit swasta tersebut yang menurutnya tidak profesional.
“Saya ingin mendapatkan keadilan. Ke depan, instansi kesehatan khususnya di Jombang jangan membeda-bedakan pasien. Dia (DR, istri BK) reaktif kan belum tentu positif Corona. Padahal dia melahirkan bertaruh nyawa, sudah pasti mati atau hidup. Jangan sampai ada kasus seperti ini lagi,” tegasnya.
Kepala Bagian Pemeriksaan RS PMC dr Bani Cahyono mengatakan, ibu berinisial DR (27) tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada Selasa (4/8) pukul 01.30 WIB. Berdasarkan hasil pemeriksaan petugas medis yang berjaga saat itu, kondisi DR baru tahap pembukaan satu. Air ketuban pasien belum pecah.
“Karena pasien ini hasil rapid test-nya positif (reaktif), kami tempatkan di ruang Darusallam sebagai pencegahan saja supaya tak terjadi permasalahan. Pecah ketubannya di ruang Darusallam. Ruangan khusus untuk terduga COVID-19,” kata dr Bani kepada wartawan di RS PMC.
Ia menjelaskan, petugas medis kembali memeriksa DR di ruangan Darusallam sekitar pukul 03.00 WIB. Namun, leher rahim (serviks) perempuan warga Desa Gedangan, Kecamatan Sumobito, Jombang itu baru pada tahap bukaan dua. Sehingga pihaknya sebatas melakukan observasi terhadap pasien secara ketat.
Proses pembukaan leher rahim sebagai jalan lahirnya bayi dihitung dengan angka 1-10. Setiap perempuan mempunyai jangka waktu berbeda dari terbukanya serviks sampai melahirkan.
“Habis itu jam 5 (pukul 05.00 WIB) posisi bayi lahir. Tapi penyebabnya apa, kami belum bisa mengetahui karena menunggu audit Dinas Kesehatan dan audit internal kami,” terang dr Bani.
Melihat bayi DR sudah lahir, lanjut dr Bani, sejumlah petugas medis melakukan penanganan dengan prosedur resusitasi jantung paru (RJP). Yakni prosedur penyelamatan jiwa yang digunakan pada keadaan gawat darurat, ketika detak jantung dan pernapasan pasien berhenti. Prosedur RJP untuk menyelamatkan bayi perempuan DR. Sehingga dia menampik tidak ada petugas medis yang menolong pasien.
“Setahu saya insyaallah enggak (tidak menolong). Soalnya kan kami juga sudah melakukan RJP selama dua siklus. Dari situ memang (bayi DR) tidak bisa diselamatkan. Kalau kami tidak menolong kami tidak mungkin melakukan RJP,” ungkapnya.
Dr Bani juga menampik anggapan bahwa para tenaga kesehatan yang bertugas saat itu melanggar prosedur penanganan ibu melahirkan. Namun, dia tidak bisa memberi penjelasan saat dikonfirmasi soal DR yang terpaksa melahirkan tanpa bantuan petugas medis.
“Kita tunggu hasil auditnya saja. Saya juga belum mengetahui ke arah sana. Setelah ada kematian, kami langsung lapor ke Dinas Kesehatan,” jelasnya
Ia menambahkan, manajemen RS PMC akan menerima apapun hasil audit Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin meningkatkan pelayanan setelah mendapatkan hasil audit,” lanjut dr Bani.
Audit maternal perinatal (AMP) tersebut fokus pada kematian bayi yang dilahirkan. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jombang dr M Vidya Buana mengatakan, AMP lazim dilakukan terhadap setiap kasus kematian ibu dan bayi (maternal perinatal). Audit ini untuk mencegah kasus serupa terulang.
“Yang dibahas hanya kasusnya. Identitas pasien dan rumah sakit dirahasiakan sehingga tim tidak tahu,” kata dr Vidya kepada wartawan di kantornya, Jalan KH Wahid Hasyim.
Ia menjelaskan, saat ini pihaknya baru pada tahap persiapan audit. Yaitu mengumpulkan semua informasi terkait meninggalnya bayi DR, warga Desa Gedangan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Sejauh ini, data-data terkait kasus itu baru dia terima dari bidan Desa Gedangan. Karena bidan tersebut sudah melakukan pelacakan.
“Yang dari RS PMC berupa rekam medis perinatal (RMP) belum masuk ke kami. Hari ini kami ke RS PMC untuk menanyakan langsung kronologinya seperti apa,” terang dr Vidya.
Setelah RMP dia terima, lanjut dr Vidya, barulah AMP digelar. Menurut dia, AMP akan digelar di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang hanya dalam waktu satu hari.
“Dari pembahasan itu akan muncul rekomendasi (untuk RS PMC). Kami harus mencermati dengan baik, apakah sesuai SOP atau seperti apa. Rekomendasi tergantung temuannya nanti,” pungkasnya.
Be the first to comment on "Ini Kronologi Ibu Melahirkan Sendiri Hingga Bayinya Tewas Di RS PMC Jombang"