rekanindonesia.org. Di tengah wabah Corona, RSUD Dr Moewardi makin sering disebut-sebut oleh masyarakat Kota Solo, maupun muncul di pemberitaan. Tapi tak banyak yang orang tahu, siapa sebenarnya Dr Moewardi..??
Moewardi, si anak mantri guru dr Jakenan, berhasil menamatkan pendidikannya di STOVIA, sekolah kedokteran yang kini menjadi Universitas Indonesia. Walaupun terlahir sebagai anak ningrat, disiplin, kedermawanan serta kesederhanaan tetap melekat pada sosok Moewardi.
Hal ini terlihat ketika tanggal 2 Desember 1934, setahun pasca lulus dari STOVIA, dirinya menggelar tasyakuran “kenduri modern”. Tidak hanya sekedar berbagi makanan namun juga berbagi jasa dengan membuka praktek pengobatan gratis.
Dilansir website Universitas Indonesia (ui.ac.id), pendidikan kedokteran Moerwadi tidak hanya berhenti pada STOVIA saja, namun terus berlanjut hingga melanjutkan sekolah ke Geneeskuundige Hogeschool (GH) untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts.
Di GH tersebut, pada tahun 1939, Moewardi mengambil gelar dokter spesialis THK (Telinga, Hidung, Kerongkongan).
Kedermawanannya sebagai dokter terbukti dengan julukan yang melekat pd dirinya yaitu “dokter gembel.” Julukan itu bukan ketika rupa Moewardi yang seperti gembel, tapi ketika kedekatannya dengan masyarakat akar rumput yang masih minim akses terhadap kesehatan. Selain itu, dia tidak mau menetapkan tarif, tak juga sepeser pun.
Kiprah Moewardi tidak berhenti di kedokteran dan kepanduan saja, ia juga aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia.
Lalu.. bagaimana akhir kisah Sang “Dokter Gembel” yang menghilang ketika operasi..?? Akhirnya, stlh pemindahan ibukota dr Yogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo.
Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dgn segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pd 13 September 1948.
Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat.
Diceritakan dalam buku PKI BERGERAK karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno-Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis.
Alih-alih menurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : “Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya hrs segera dioperasi,”
Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit.
Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu.
Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Dimana para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana.
Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantaranya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya.
Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan.
Be the first to comment on "Kisah Akhir Kehidupan Dr. Moewardi Yang Tragis"