Ketika Ruang Inap Penuh, Hidup Seorang Bayi Dipertaruhkan

Bagikan Artikel Ini

Jakarta — Di tengah malam yang sunyi di RSUD Cengkareng, seorang bayi berumur satu tahun terbaring lemah di ruang HCU. Namanya Shaka Andaru, warga Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Sejak seminggu terakhir tubuh kecilnya digerogoti demam tinggi, hemoglobin rendah, kalium menurun, dan infeksi paru.

Keluarganya tiba di UGD RSUD Cengkareng pukul delapan pagi, 27 Oktober 2025, berharap Shaka segera mendapat pertolongan. Namun ruang rawat inap dikabarkan penuh. “Kami menunggu hampir seharian,” ujar salah satu anggota keluarga. Baru pukul 23.23 WIB, Shaka dipindahkan ke ruang HCU — setelah napasnya mulai tersengal.

Keesokan harinya, dr. Dini melakukan pemeriksaan. Ia menanyakan gejala dan riwayat pengobatan pasien. Keluarga menjelaskan bahwa Shaka sudah mendapat antibiotik dari Puskesmas Pulau Tidung. Tapi kondisi bocah itu terus memburuk. Hasil laboratorium menunjukkan HB hanya 7,6 g/dL dan kalium 1,9 mmol/L.

Keluarga memohon dilakukan transfusi darah. Namun perawat menjawab singkat, “Belum perlu, Bu. Kita beri obat dulu.”
Jawaban itu membuat keluarga terdiam. Malam menjelang, suhu tubuh Shaka naik, disertai mual, diare, dan tubuh yang makin lemas.

Ketika harapan nyaris pupus, keluarga menghubungi Relawan Kesehatan Indonesia (REKAN). Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, KPD REKAN Jakarta Barat turun tangan. Koordinasi dilakukan dengan instansi terkait, dan tak lama kemudian pihak RSUD mengonfirmasi: Shaka mendapat ruang intensif HCU.

Namun pertempuran kecil itu belum berakhir. Dua malam kemudian, 29 Oktober 2025, keluarga kembali melapor karena kondisi Shaka belum juga stabil. Pukul 22.10 WIB, Direktur RSUD Cengkareng datang langsung memeriksa pasien. Menurutnya, anak dengan kadar HB 7,6 g/dL belum perlu transfusi darah, kecuali pada orang dewasa atau lansia.
Sementara itu, dokter jaga kembali memberikan obat melalui infus.

Bagi Adnan Kasogi, pelapor sekaligus relawan pendamping, perjuangan ini bukan sekadar soal medis. “Yang kami perjuangkan bukan hanya Shaka, tapi hak semua pasien untuk mendapatkan penanganan cepat dan layak,” ujarnya bersama dua advokator pendamping, Ramin dan Adon.

Kisah Shaka menjadi cermin getir dari sistem kesehatan yang masih timpang. Di balik layar gedung-gedung tinggi dan jargon pelayanan publik, masih ada anak kecil yang harus menunggu ruang kosong—sementara waktu terus berjalan.

Be the first to comment on "Ketika Ruang Inap Penuh, Hidup Seorang Bayi Dipertaruhkan"

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*